Catatan Perjalanan Surabaya – Jakarta dengan Gunung Harta

“Mau ambil souvenir Pak?” tanya supir taksi itu kepada Saya. Saya yang sedang diburu waktu sama sekali tak mengerti pertanyaan sang supir yang terlihat ragu karena lokasi pembagian suvenir sudah terlihat, tak jauh dari pertigaan dekat Gramedia Expo Surabaya. Setelah dijelaskan bahwa ada pembagian suvenir gratis dari Orenz Taxi, maka Saya tak ragu untuk menerimanya. Bingkisan berupa dua buah tas kecil itu harus ditebus dengan kehilangan beberapa menit, karena sang supir harus mundur perlahan melawan arus demi bisa melalui jalan tikus menuju Jalan Arjuna Raya, tempat agen PO Gunung Harta bermarkas. Tak sia-sia, Saya sampai di tujuan persis dua puluh menit sebelum kickoff, maksud Saya sebelum keberangkatan bis, hehe…

PO Gunung Harta memang “pemain baru” di trayek Surabaya – Jakarta. Trayek resminya adalah Malang – Surabaya – Jakarta – Bogor. Tempat pemberhentian di Jakarta yang berhak disambangi GH adalah terminal Rawamangun dan agen Pasar Rebo. Dan setelah Saya bertanya sana-sini serta join di grup Facebook Gunung Harta Lovers, kemungkinan besar GH menggunakan armada baru dengan mesin Mercedes Benz OH 1626 berbusana Adi Putro Jetbus. Masih gress pastinya. Dengan keberangkatan dari Surabaya pukul 15.30 WIB, Saya pun rela cuti satu hari demi bisa menikmati pelayanan PO yang bermarkas di Bali ini. Dan tak lama setelah menikmati soto ayam yang terlalu asin di sebelah agen, Saya langsung dibuat takjub dengan sebuah bis hijau yang bersiap masuk garasi sempit dan membuat kemacetan. Rasa asin yang terkecap di lidah sontak hilang, berganti rasa penasaran untuk langsung duduk dan menikmati “keindahannya”, hehe…

Sebelum naik, Saya mengambil gambar muka si GH. Ada sedikit retak di kaca depan, tapi sama sekali tidak mengganggu tampilan si hijau. Tidak ada pintu di kanan untuk keluar masuk supir, seperti yang disyaratkan Kementerian Perhubungan. Di pintu depan untuk masuk penumpang ada dua buah stiker bertuliskan logo “bismania.org” yang sepertinya masih baru. Saya memang beruntung, meski baru memesan tiket sehari sebelumnya (24/5) dengan harga bersaing, Rp 230.000,- saya bisa mendapatkan hot seat, kursi di belakang supir. Lebih lega dan lebih nyata sensasinya jika bis ngeblong, begitu tentu pemikiran semua bismania tentang kursi yang biasanya terdaftar dengan nomor A4 tersebut. Setelah nyaman dengan posisi duduk, Saya ngobrol dengan seorang Bapak yang naik dari Malang. Tepat pukul 13.30 WIB GH berangkat dari Malang menuju Surabaya untuk kemudian berhenti lagi di Tuban, karena ada dua calon penumpang menunggu disana. Total penumpang yang naik dari Malang, Surabaya dan Gresik berjumlah  sepuluh orang, sehingga hari itu GH membawa dua belas penumpang “resmi”, karena ada dua orang –entah pekerja atau rekan supir– yang ikut sampai Lamongan.

Jam digital di bis diawaki dua orang supir ini menunjukkan pukul 15.25 WIB ketika tinggal landas dari agen di Arjuna Raya. Tak menunggu lama, snack pertama dibagikan yang berisi roti dan kacang dengan merk khusus Gunung Harta, produksi Malang serta sebuah air mineral 330 ml. Salah satu yang membuat snack terkesan eksklusif adalah kardus putih yang bertuliskan ‘Gunung Harta’ dengan huruf timbul. Bis kemudian memasuki tol menuju Gresik dengan dinahkodai oleh Pak Gendut (Saya belum kenal namanya) yang membawa bis sedikit “kasar”. Setidaknya itu informasi yang Saya dapat dari Bapak sebelah Saya, penumpang dari Malang tadi. Sepanjang tol tidak ada yang istimewa, hanya saja Pak Gendut sering sekali membunyikan klakson, dan seenaknya “meneror” pengendara motor untuk tidak menghalangi laju si GH. Saya jadi sedikit kurang simpatik pada Pak Gendut ini. Sambil bicara ngalor ngidul, Bapak sebelah Saya berteori: cara orang membawa mobil mencerminkan bagaimana dia berumahtangga. Bapak yang belakangan Saya ketahui lulusan S3 dan seorang dosen ini kemudian membandingkan dengan Pak Kumis, supir kedua yang lebih luwes dalam memainkan setir OH 1626. Si Bapak rupanya pernah naik GH dari Jakarta – Surabaya beberapa hari sebelumnya dengan driver Pak Kumis.

Kami sampai di terminal Bunder, Gresik pukul 16.26 WIB dan menunggu cukup lama untuk beberapa penumpang. Beberapa kali Pahala Kencana tujuan Bandung dan Jakarta melewati kami dengan armada New Travego dan tenaga Mercy OH 1525 dan 1526. Perjalanan berlanjut dan nyaris tak ada bis yang bisa dilewati atau melewati kami. Sepanjang Pantura kami beriringan dengan truk, bis tanggung, mobil pribadi, dan hanya kress dengan beberapa bis yang menuju Surabaya. Kami akhirnya sampai di pemberhentian pertama di daerah Tuban, yakni RM Taman Sari pada pukul 17.56 WIB. Setelah shalat Magrib dan Isya, Saya menikmati makanan prasmanan. Ruang makan penumpang GH terletak di pojok belakang, dekat mushola. Hidangan yang disediakan cukup standar, nasi, sayur, ayam, dan teh manis.

Sekitar setengah jam istirahat, Kami melanjutkan perjalanan dengan driver Pak Kumis. Benar saja, driver yang satu ini lebih luwes dan piawai dalam mengendalikan OH 1626. Meski terkesan lambat, namun yang ingin ditonjolkan oleh GH kepada penumpangnya adalah kenyamanan. Setelah istirahat dan makan, tentu penumpang ingin merasakan nyamannya berada di dalam bis. Tak heran, Pak Kumis tak beraksi ketika GH berturut-turut di-blong oleh PO Indonesia berbaju Proteus dan daleman Hino RK serta Pahala Kencana asal Madura tujuan Bandung. Pak Kumis tetap menjaga kecepatan dan konsisten dalam membabat habis truk dan mobil pribadi yang “menghalangi”, meski harus rela diasapi oleh Indonesia dan PK.

Tanpa sadar, GH yang Saya naiki sudah memasuki Rembang ketika Pak Kumis melewati Harum Pariwisata meski tak lama kemudian kembali di-blong oleh Karina entah line mana. Tepat pukul 20.00 WIB Pak Kumis bertopi ini berubah pikiran. Tiba-tiba OBL dari Mataram, serta Karina yang sejak tadi berada di depan. Namun perlawanan Karina tak selesai sampai disana. Tak perlu menunggu lama, Karina yang misterius itu kembali berhasil mengangkangi kami. Tapi bukan Pak Kumis namanya kalau mudah menyerah. Berkat kepiawaiannya, tiga bis di depan berhasil diasapi. Mereka adalah Karina, PK Madura, dan Indonesia! Bis yang begitu agresif ketika di Tuban. Saya yang sebenarnya sudah ngantuk memaksakan diri membuka mata, berharap Pak Kumis kembali menyalakan sein kanan. Tapi tak banyak yang bisa dilihat, karena stok bis di Pantura saat itu sedang sepi, hanya truk, minibus travel, dan mobil pribadi saja yang bisa ‘disantap’. Bahkan ketika memasuki Lasem, kami malah di-blong oleh PK tujuan Jakarta.

Saya terbangun ketika GH melewati terminal Mangkang, Semarang. Sebuah terminal yang besar, namun terkesan sepi untuk sebuah terminal di ibukota propinsi. Dan selama di kawasan Semarang, kami sempat memecundangi Lorena yang sebelumnya terlihat ‘aktif’ di depan. Malam itu banyak sepeda motor yang beriringan, seperti baru pulang kerja, dan sedikit ‘mengganggu’ laju si GH, dan Saya memutuskan untuk tidur lagi, hehe… Jam di GH nopol DK GH menunjukkan pukul 00.00 WIB ketika kami memasuki RM Sari Rasa di daerah Weleri sebagai lokasi check point. Disana banyak berkumpul PO lain untuk hal serupa, diantaranya Harapan Jaya dengan Scania-Scorking, OBL, dll. Sebuah rumah makan yang lebih cocok disebut sebagai terminal bayangan, mengingat ramainya bis yang masuk dengan berbagai kepentingan. Selepas dari RM Sari Rasa hampir semua penumpang sudah lelap. Begitu pun Saya, yang langsung menyetel kursi dengan posisi sudut tumpul, dan semakin terasa suspense dari si Mercedes.

Saya baru terbangun ketika pukul 05.00 WIB bis memasuki RM Singgalang Jaya di daerah Indramayu. Sholat subuh dan menikmati teh hangat menjadi pilihan sebagian besar penumpang, mengingat pagi di Pantura ternyata cukup menggigit. Sebelumnya Saya belum pernah berhenti istirahat sepagi ini di Pantura. Setelah sekira dua puluh menit rehat, semua penumpang naik dan melanjutkan perjalanan. Tongkat kepemimpinan GH dipegang oleh Pak Kumis yang sepertinya lebih mendominasi selama perjalanan. Tak banyak bis yang melaju di Pantura, praktis hanya sebuah Luragung Jaya yang terlihat di depan, dan langsung didahului tanpa basa-basi oleh Pak Kumis. Kami kemudian mampir di SPBU daerah Subang untuk menghidupi si Hijau Mickey Mouse ini. Tak lama berhenti, Kami dibagikan snack kedua yang berisi roti dan air mineral dalam gelas. GH sepertinya tahu betul cara berpromosi yang elegan. Sebagai pengganti sarapan, penumpang cukup diberikan snack yang bisa mengganjal perut, mengingat Ibbukota pun sudah tak lagi jauh. Pak Kumis memasuki garis finish di terminal Rawamangun sekitar pukul 08.30 WIB. Dengan mengucap sekadar kata perpisahan dan terima kasih pada Bapak Psikolog sebelah Saya dan Pak Kumis untuk kebersamaan yang indah selama tujuh belas jam. Saya lantas mengarungi jalanan menuju Bekasi, tentunya dengan bekal pengalaman bersama GH, dan harapan semoga terulang dengan pelayanan yang sama atau lebih baik lagi. Sampai jumpa lagi, Gunung Harta! (Surabaya – Jakarta, 25 – 26 Mei 2012).

Tentang katatakterkata

Manusia biasa, huruf, kata, dan kalimat seadanya
Pos ini dipublikasikan di Tulisan. Tandai permalink.

Satu Balasan ke Catatan Perjalanan Surabaya – Jakarta dengan Gunung Harta

  1. tulisan yang menarik, makasih

Tinggalkan komentar